Sunday, 10 April 2011

Manusia Berpotensi Menjadi Jenius






Berdasarkan Genetika, Semua Manusia Berpotensi Menjadi Jenius




Quote:
Dari hasil penelitian, otak manusia mempunyai 1 triliun sel, dengan 100 milyar sel aktif. Setiap sel itu mampu membuat jaringan sampai 20.000 sambungan tiap detik.





Dengan kondisi yang seperti itu, seorang master trainer dari Brains Power Indonesia, Irwan Widiatmoko mengatakan, “Apabila seluruh informasi alam semesta ini dimasukkan ke dalam otak kita, otak kita tidak akan penuh.” Begitu yang dikutip dari www.kompas.com tanggal 25 Agustus 2008.

Adakah manusia super jenius di dunia ini?

Spoiler for Jawabannya:
Jawabnya adalah Nabi Adam AS, yang merupakan leluhur seluruh umat manusia…


Kok bisa?

Spoiler for Alasan:
Soalnya beliau adalah satu-satunya makhluk, yang berhasil mempresentasikan keadaan seluruh alam semesta ini di hadapan Allah SWT. Kenyataan inilah yang membuat para para malaikat terkagum-kagum, dan mereka pun sujud kepada Adam AS dan mengagungkan kebesaran Allah SWT.

Kisah ini termuat dengan jelas dalam QS Al Baqarah ayat 33—34.
(33) “Dia (Allah) berfirman, ‘Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!’ Setelah dia (Adam) menyebutkan nama-namanya, Dia (Allah) berfirman, ‘Bukankah telah Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu sembunyikan?’.”
(34) “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir.”

Jadi kalau ada yang bilang, kecerdasan adalah faktor bibit atau keturunan, hal itu berarti semua manusia (termasuk kita ini) punya potensi jadi manusia super jenius.

Sebenarnya struktur otak Nabi Adam AS, relatif sama dengan struktur otak manusia kebanyakan, termasuk kita. Bedanya, Sang Nabi pertama itu sudah secara optimal memakai semua potensi otaknya.




Kalau anda mengira genius merupakan bawaan yang memiliki IQ jauh di atas rata-rata, anda salah . mereka hanya berhasil menggunakan kemampuan otaknya lebih dari orang-orang biasa. Sebenarnya semua orang pun bisa mengembangkan kemampuan berpikir seperti otak mereka, hanya dibutuhkan KEMAUAN dan KERJA KERAS. Bill Gates, si pemilik perusahaan Microsoft yang juga merupakan 1 di antara para genius mengatakan bahwa 99% yang menciptakan kegeniusan adalah KERJA KERAS. Genius di sini bukanlah seseorang yang memiliki IQ jauh di atas rata-rata, tetapi genius di sini adalah Expert atau para ahli di bidangnya, Bagi mereka para genius, hanya ada 3 kunci untuk kegeniusan mereka, kita pun bisa menjadi bagian dari mereka, dengan kunci KEMAUAN dan KERJA KERAS.

Spoiler for Rahasia Jenius:

Rahasia 1
Si genius bisa mencari cara sendiri untuk menguasai hal-hal yang belum di kuasainya. Para genius menciptakan metode belajar sendiri yang paling cocok dengan diri mereka. Jika tidak menguasai suatu subjek, mereka akan cari tahu cara paling efisien untuk mempelajarinya. Mereka terus mencoba (mereka tidak pernah berhenti mencoba jika belum berhasil) sampai mereka bisa menguasai yang ingin dikuasainya. Kalau gagal dengan satu metode, mereka akan mencoba metode lainnya.

Rahasia 2
Para genius memiliki motivasi yang “sangat, sangat, sangat besar!” untuk menguasai apa yang menjadi minatnya. Kadangkala mereka rela mengorbankan berbagai hal demi minatnya itu. Inilah kisah Bill Gates si orang terkaya di muka bumi: “Bill Gates orang yang cerdas. Itu sudah pasti. Jika tidak cerdas, dia tidak akan bisa masuk Universitas Harvard, yang merupakan universitas terbaik di dunia. Tapi dia keluar. Alasannya: “Aku ingin berbuat lebih.” Rupanya, dia tidak ingin hanya menjadi cerdas. Dia ingin menjadi seorang genius. Dia sadar, terus kuliah akan mengurangi waktunya dalam mendalami software computer yang sangat diminatinya. Dalam pengakuannya, dia pernah tidak tidur selama berhari-hari ketika menyelesaikan software pertamanya.

Rahasia 3
Mereka yang genius memiliki visi masa depan yang jelas, konkret dan terukur. Apabila ditanya apa yang diinginkannya di masa depan, mereka akan menjawab tuntas hingga ke detailnya. “10 tahun dari sekarang, saya akan menjadi seorang pengusaha mebel kayu jati yang produknya merambah seluruh Eropa. Karyawannya lebih dari 500 orang. Omsetnya lebih dari 50 miliar.” Itulah visi seorang pengusaha besar.



Bagaimana dengan kita?




Spoiler for Kita Gan:
Berpikir saja biasanya malas. Kita lebih suka melihat orang lain yang jadi lebih jenius. Dan dari penelitian pula, kita ini kebanyakan hanya memakai daya otak kita sebesar 10%…



Jadi… apa yang mesti kita lakukan?


Spoiler for Mikir:

Semuanya terserah kita. Apakah kita mau memaksimalkan kemampuan otak kita dan menjadi orang yang sukses atau hanya orang yang biasa-biasa saja. Kita bisa menjadi genius di bidang apapun yang kita minati, jika Anda berpikir dan memiliki karakter seorang genius.



Berikut adalah hal-hal apa saja yang bisa membantu untuk membangkitkan “si genius” dalam diri kita.

Spoiler for Resepnya:

Tidurlah Yang Cukup


Lho kok malah tidur, bukannya untuk melatih pikiran harusnya terus bangun? Ternyata tidak. Tidur setelah belajar justru meningkatkan kemampuan otak mengingat. Saat terlelap tidur, otak kita justru bekerja keras memilah-milah informasi penting untuk kita, sehingga kemampuan memori kita menguat. Namun itu hanya berlaku bagi tidur yang lebih dari 6 jam. Itu kenapa sistem belajar SKS (sistem kebut semalam) tidak direkomendasikan karena justru hanya melemahkan kemampuan berpikir dan kemampuan memori kita. So, langsunglah tidur sekurang-kurangnya 6 jam usai belajar di malam hari. Dengan begitu, belajarmu akan memberikan hasil lebih maksimal. Untuk menjadi expert, begadang merupakan pantangan.


Latihan fisik


Banyak-banyaklah melakukan aktivitas fisik: jalan-jalan, berolahraga permainan, senam, atau apapun. Melakukan banyak aktivitas fisik terbukti meningkatkan kemampuan berpikir otak.


Makan cukup


Kurang makan akan membuatmu tidak memiliki energi untuk berpikir cerdas, tapi terlampau banyak makan juga akan membuat otakmu menjadi kurang cerdas. Makan secukupnya dan selektif. Hindari terlalu banyak makan-makanan dari lemak hewani. Banyak-banyaklah makan sejenis lemak yang bernama omega 3, yang terkandung dalam ikan, kacang-kacangan, atau biji-bijian. Banyak-banyaklah juga makan buah dan sayuran. Para expert selalu tidak pernah berkekurangan atau berlebihan dalam soal makan.


Musik



Mendengarkan musik disinyalir bisa meningkatkan kemampuan otak dalam berpikir, namun tidak secara langsung. Diketahui mendengarkan musik bisa membuat tubuh merasa rileks, perasaan negatif berkurang, dan menurunkan rasa takut. Nah, hal-hal itu otomatis membuat kita bisa lebih fokus dalam berpikir. Namun diketahui tidak semua orang berhasil dengan bantuan musik. Sebagian orang justru tidak bisa berpikir sambil mendengarkan musik. So, cari cara Anda sendiri!


Jangan lupa bermain


Belajar terus menerus secara intensif tanpa istirahat dan tanpa jeda bukanlah perilaku yang bijak. Bermain itu menyenangkan. Selain bisa menghilangkan stress, bermain juga membuat kemampuan otak kita berpikir menjadi lebih cemerlang. So, sempatkan bermain. Asal Anda tahu, seorang Albert Einstein dan Bill Gates saja selalu mencadangkan waktu setiap hari untuk bermain. Sebaliknya, jangan pula hanya bermain-main melulu. Hanya bermain tidak akan menjadikan Anda seorang expert.


Meditasi


Meditasi rutin sangat membantu kerja otak. Cara yang paling sederhana adalah latihan nafas sederhan. Pertama, buat posisi tubuh dalam keadaan senyaman mungkin. Lalu tarik nafas lewat lubang hidung dan hirup dalam-dalam, lalu lepaskan perlahan-lahan dari lubang mulut. Lakukan itu berulang-ulang, sampai badan terasa segar. Ingin bantuan cara sederhana berelaksasi?


Percaya kalau Anda bisa!


“Meskipun berusaha sangat keras tapi Anda gagal juga. Lantas Anda berkesimpulan kalau Anda memang tidak cukup mampu.” Nah, meskipun Anda berpikir demikian, para ahli psikologi menyatakan sebaliknya. Kegagalan semacam itu seringkali bukan karena kurangnya kemampuan, tetapi karena kepercayaan terhadap diri sendiri yang kurang. Kebanyakan dari kita sudah terjebak dalam stereotip bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa berhasil. Alhasil, otak kita pun bereaksi menyesuaikan diri dengan kepercayaan itu. Jadinya, kita pun tidak mencapai performa terbaik kita karena pada dasarnya kita memang tidak terlalu percaya akan berhasil. So, percaya 100% Anda bisa, maka otak Anda akan membantu Anda. 
 
sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6371627

Mario Teguh : Anger Management 03/04/11 (4/4)

7 Kebiasaan Yang Mempercepat Penuaan

7 Kebiasaan Yang Mempercepat Penuaan Kulit


Penuaan kulit kerap ditentukan oleh kesehatan dan gaya hidup yang Anda lakukan setiap hari. Membuat pilihan yang tidak cepat akan menyebabkan penuaan kulit datang lebih awal dan ini akan membuat Anda lebih cepat terlihat tua. Bagian penting dari setiap program perawatan anti-penuaan kulit adalah untuk mengetahui apakah yang Anda lakukan akan merugikan kulit dan mempercepat proses penuaan kulit Anda. Berikut adalah 7 kebiasaan yang memiliki kontribusi besar terhadap penuaan kulit:
Quote:
Quote:
1. Asap rokok



Apakah Anda merokok, atau Anda menghabiskan waktu dengan perokok? Asap rokok akan merusak dan menimbulkan penuaan dini terhadap kulit Anda. Penelitian menunjukkan bahwa menghisap rokok akan secara signifikan membuat kulit keriput dan kering. Pasalnya, merokok dan asap rokok akan menghabiskan kandungan Vitamin C yang merupakan nutrisi utama untuk menjaga kulit tetap lembab. Beberapa peneliti percaya bahwa asap rokok (baik Anda merokok atau tidak) mampu merusak kulit seperti layaknya terpanggang sinar ultraviolet dari matahari.
Quote:
Quote:
2. Sinar matahari



Terlalu sering terjemur sinar matahari akan menyebabkan penuaan pada kulit. Kulit yang tidak terlindungi dengan baik saat terkena sinar matahari akan mudah timbul bintik hitam/flek. Bintik hitam ini awalnya berwarna coklat, semakin lama sering terpapar matahari maka warnanya akan semakin gelap, perubahan penampilan kulit, kering kasar, dan keriput serta kendur. Risiko kanker kulit juga meningkat secara signifikan. Kabar baiknya, kerusakan akibat sinar matahari dapat dihindari jika Anda mulai dari sekarang. Anda juga dapat memperbaiki kondisi kulit yang rusak akibat matahari.
Quote:
Quote:
3. Kurang olahraga



Olahraga akan membantu meregangkan otot dan memperlancar peredaran darah. Karenanya, olahraga harus menjadi bagian penting dari setiap program perawatan kulit anti-penuaan.
Selain manfaat fisik dari olahraga, fungsi dari program latihan secara rutin akan tampak pada wajah Anda. Selalu tersenyum cerah dengan banyak energi akan membantu Anda terlihat dan merasa lebih muda.
Quote:
Quote:
4. Cuaca dingin



Angin dingin dan suhu rendah menyebabkan penuaan kulit dengan cara membuat kulit menjadi kering. Jadi, jika Anda berada pada suhu dingin, pastikan menggunakan pelembab yang baik.
Jangan lupa untuk menggunakan pelembab saat berada dalam ruangan berpendingin udara. Pertimbangkan untuk menggunakan humidifier (alat pelembab udara) untuk menjaga kulit Anda tetap nyaman dan mengurangi efek penuaan pada kulit.
Quote:
Quote:
5. Alkohol



Alkohol memberikan kontribusi besar terhadap penuaan kulit dengan cara melebarkan pembuluh darah kecil di kulit dan meningkatkan aliran darah di permukaan kulit. Seiring waktu, pembuluh darah dapat menjadi rusak secara permanen, menciptakan kesan merah pada permukaan kulit.
Quote:
Quote:
6. Stress



Mungkin Anda pernah mendengar ungkapan: “Jangan cemberut, wajah Anda bisa tetap seperti itu.” Stres dapat menyebabkan kening mengerut, dan makin lama otot-otot di wajah akan membentuk garis kerutan. Untuk membantu mengurangi penuaan kulit akibat stres, Anda harus menyadari tingkat stres dan mencoba untuk mengekspresikan wajah bervariasi sepanjang hari. Sebuah program perawatan kulit anti aging harus mencakup meditasi, yoga, olahraga ringan atau teknik relaksasi lainnya. Pantau terus tingkat stres untuk meminimalisir kerutan dan penuaan kulit agar Anda terlihat dan merasa lebih muda.
Quote:
Quote:
7. Kurang Tidur



Tidur terlalu sedikit akan membuat Anda terlihat dan merasa lelah. Salah satu bagian tubuh yang akan menunjukkan kalau Anda kurang tidur adalah wajah, dengan lingkaran hitam di bawah mata, dan kulit kendur. Kurang tidur juga merupakan faktor utama yang membuat orang mudah lupa dan akan mengalami gejala depresi. Penelitian telah menunjukkan bahwa kebanyakan orang dewasa akan mendapatkan fungsi terbaik dengan cara tidur 8-9 jam setiap malam. Kurangi kafein di siang hari (dengan tidak sama sekali pada sore dan malam hari), menghindari makan minimal 2 jam sebelum tidur, dan tidur dengan kualitas yang cukup. Jika Anda mengalami kesulitan tidur, karena alasan apapun, penting untuk berkonsultasi dengan konsultan kesehatan Anda.
 
Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7763300

Tuesday, 29 March 2011

Paper Sociolinguistics

BAB II
ISI

A. Bahasa dan Seksis Jenderisasi
Citra atau representasi seseorang terbentuk karena adanya hubungan antara bahasa dan budaya. Koentjaraningrat menyatakan bahwa bahasa digunakan dalam konteks budaya tertentu, baik dalam konteks yang abstrak maupun yang konkret. Disebut abstrak karena bahasa berada dalam lingkungan sistem nilai tertentu, setidak-tidaknya dalam sistem nilai yang dianut oleh pemakai bahasa itu. Disebut konkret karena bahasa pada umumnya digunakan dalam lingkungan manusia, bahkan di dalam lingkungan hasil karya manusia. Dengan demikian, nilai suatu masyarakat, termasuk nilai budaya patriartikal terkemas dalam bahasa.
Hal itu diperkuat oleh pendapat Burman dan Parker yang menyatakan bahwa bahasa berisi sebagian besar kategori dasar yang kita gunakan untuk memahami diri kita sendiri; bahasa mempengaruhi cara kita bertindak sebagai wanita atau pria dalam masyarakat; bahasa juga memproduksi cara kita menentukan identitas budaya kita. Dengan demikian, jika bahasa sendiri sudah seksis, hal itu pun akan membentuk pemikiran pemakainya untuk berprilaku tersebut.
Studi bahasa dan jender memusatkan perhatian pada bagaimana jender berpengaruh terhadap pemakaian bahasa. Jender merupakan faktor yang berpengaruh terhadap variasi bahasa. Di samping itu, perilaku manusia dalam masyarakat sebagai pria atau wanita juga dipengaruhi oleh pemakaian bahasa yang ada dimasyarakat. Dan dalam konteks jender, perbedaan jenis kelamin dalam strategi dan kebiasaan percakapan akan berimplikasi pada ragam bahasa yang digunakan.
Penelitian-penelitian mengenai bahasa dan jender sudah banyak dilakukan oleh para ahli bahasa dengan mengambil konteks budaya luar (budaya barat). Pada periode awal (1960-1970an) penelitian dititik beratkan pada pengelompokan penutur menurut seks biologis. Penelitian ini menyoroti adanya perbedaan fonologis dan gramatikal antara pria dan wanita. Paradigma penelitian mengenai bahasa dan jender kemudian berubah pada strategi percakapan yang dilakukan oleh wanita dan pria. Penelitian selanjutnya berpijak pada pemakaian strategi percakapan yang dapat digunakan untuk meningkatkan dominasi percakapan.

B. Kesantunan & Ketidakpercaya Dirian Wanita Berbahasa
Salah satu penelitian mengenai strategi percakapan antara pria dan wanita adalah mengenai kesantunan berbahasa. Penelitian ini dilakukan oleh Brown terhadap suku Maya di Meksiko. Dia mengetes hipotesis yang menyatakan bahwa wanita lebih santun dari pada pria; wanita lebih sensitif berkaitan dengan kebutuhan ‘muka orang lain’. Ia menemukan bahwa wanita lebih banyak menggunakan indikator-indikator kesantunan dibandingkan kaum pria, dan bahwa kaum wanita mempunyai ‘strategi-strategi feminin secara khas’ mengenai kesantunan. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan Lakoff yang berargumen bahwa wanita menggunakan sebuah gaya bertutur yang ditandai oleh ciri-ciri yang menunjukkan keraguan, kesementaraan dan kesopanan: “agaknya masuk akal untuk diprediksikan bahwa kaum perempuan secara umum akan berbicara secara formal dan lebih sopan, karena kaum perempuan secara kultural diposisikan pada status yang relatif sekunder terhadap laki-laki dan karena tingginya kadar kesopanan dimunculkan dari bawahan kepada atasan”.
Dalam kesantunan, konsep akan ‘muka’ menjadi gagasan utama dimana seseorang dituntut untuk memahami kebutuhan akan ‘muka’ orang lain saat berinteraksi atau berkomunikasi. Saat kita berinteraksi, kita harus menyadari adanya dua jenis ‘muka’ yang mengacu pada kesantunan. Brown dan Levinson membedakan dua jenis ‘muka’, yaitu positive face, yang berarti menunjukkan solidaritas, dan negative face, yang menunjukkan hasrat untuk tidak diganggu dalam tindakannya. Selain itu, ada dua jenis kesantunan yang menjadi perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness, yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan. Di sisi lain negative politeness ditandai oleh penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan dan ketidaklangsungan.
Kesantunan berbahasa sendiri bergantung pada sosial budaya, norma dan aturan suatu tempat, sehingga nilai atau aturan satu budaya dapat berbeda dengan budaya lain. Namun demikian, dalam kesantunan berbahasa diperlukan strategi-strategi kesantunan agar komunikasi dapat berjalan dengan baik, sehingga tidak mengancam ‘muka’ orang lain. Misal:
A: “tolong dong, Pak, dataku dimasukan ke flashdisk”.
Dari kutipan percakapan di atas, kita dapat melihat bahwa A sebenarnya menyuruh orang lain (dalam hal ini orang yang dipanggil Pak) untuk memindahkan data ke dalam flash disk miliknya. Strategi yang dipilih agar perintahnya tidak menyinggung perasaan orang lain adalah dengan pilihan kata “tolong dong Pak” dan dengan gaya yang merajuk. Selain itu, kata ‘dong’ merupakan bentuk ‘solidarity’ antara dua orang tersebut. Dengan strategi yang digunakannya ini, orang lain mau melakukan perintahnya tanpa merasa ‘mukanya’ terancam.
            Sejarah Singkat Teori Bahasa dan Jender
Tidak dapat disangkal, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, isu jender merupakan pengaruh gerakan wanita sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini memicu berbagai penelitian mengenai isu-isu wanita, terutama yang berkaitan dengan subordinasi wanita dalam berbagai aspek: pendidikan, hukum, politik, dan sebagainya. Pada akhirnya, bahasa pun tidak luput dari lahan analisis para linguis, sosiolog dan budayawan.
            Studi bahasa dan jender memusatkan perhatian pada bagaimana pengaruh terhadap pemakaian bahasa. Jender merupakan faktor yang berpengaruh terhadap variasi bahasa meskipun samapi saat ini studi bahasa pada umumnya membiarkan perbedaan jender dalam pemakaian bahasa.
Pada periode awal tahun 1960-an, penelitian interkasi bahasa didominasi oleh paradigma yang mengelompokkan penutur menurut seks biologis dengan menggunakan metode kuantitatif. Pada periode ini penelitian lebih banyak menekankan pada perbedaan jenis kelamin dalam pelafalan dan tata bahasa. Hasilnya menunjukkan bahwa adanya perbedaan fonologis dan gramatikal yang disajikan dalam angka-angka prosentase. Tes statistik digunakan untuk menunjukkan signifikansi perbedaan itu. Pendekatan ini dikembangkan oleh Labov (1972). Paradigma penelitiannya biasa disebut paradigma variasionis. Trudgill adalah salah seorang pengikut paradigma ini. Hal tersebut tampak pada penelitiannya tentang variasi fonetis dan fonologis dalam bahasa Inggris di kota Norwich.
Periode selanjutnya ialah penelitian dengan strategi percakapan yang dilakukan pria dan wanita. Penelitian pada periode ini bergerak meninggalkan masa linguistik tradisional yang terfokus pada fonetik/fonologi dan morfologi/sintaksis yang dikaitkan dengan jenis kelamin. Penelitian lebih terarah pada kompetensi komunikatif, seperti cara kaum pria dan wanita memberikan dan membalas pujian atau cara pria dan wanita meminta maaf. Peneliti pada periode ini adalah adalah Brown (1980) yang memfokuskan pada bahasa pria dan wanita pada suku Maya di Meksiko.
            Penelitian selanjutnya berpijak pada pemakaian strategi percakapan yang dapat digunakan untuk meningkatkan dominasi percakapan. Konsep dominasi percakapan mengacu pada strategi yang digunakan peserta tutur untuk mendominasi pasangan percakapan. Konsep dominasi mengacu kepada strategi yang digunakan peserta tutur untuk mendominasi pasangan percakapan. Pada periode ini banyak terfokus pada percakapan campuran antara kaum pria dan wanita dalam berbagai ragam konteks sosial.

1.1 Jender dan Jenis Kelamin
Ada perbedaan terminologi antara jender dan jenis kelamin. Menurut Coates , jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis sedangkan jender merupakan sebuah istilah yang menjelaskan kategori-kategori yang terstruktur secara sosial berdasarkan jenis kelamin.
Hal senada dikemukakan oleh Wardhaugh yang mendefinisikan jender sebagai sebuah konstruksi sosial yang melibatkan keseluruhan perbedaan aspek psikologi, sosial, dan budaya antara pria dan wanita sedangkan jenis kelamin merupakan bentuk fisik seseorang yang telah tercipta secara biologis. Mengacu pada pendapat kedua ahli bahasa di atas, maka identitas kita sebagai pria dan wanita sangat dipengaruhi dan dipertajam oleh sekeliling kita: orang tua, saudara, teman, model-model aturan sosial, budaya mengenai hal-hal yang tabu, orientasi seksual,

1.2 Kesantunan Berbahasa
Konsep kesantunan dalam interaksi sosial dan percakapan menjadi topik penting dalam kajian sosiologi dan kajian percakapan. Kesantunan, seperti diutarakan oleh Searle , merupakan bentuk tindak tutur yang tidak langsung:
“in the field of indirect illocutionary act, the area of directives is the most useful to study because ordinary conversational requirements of politeness normally make it awkward to issue flat imperative statements or explicit performatives, and we therefore seek to find indirect means to our illocutionary ends. In directives, politeness is the chief motivation
for indirectness.
Untuk pertama kalinya, konsep ini diperkenalkan oleh Erving Goffman melalui istilah ‘muka’ (face ) pada tahun 1967. Dua puluh tahun kemudian, Brown dan Levinson memberikan definisi mengenai ‘muka’, yaitu sebagai ‘the public self-image that every member wants to claim for himself’. Terminologi tentang kesantunan (politeness) sendiri banyak mengandung arti. Menurut Thomas, untuk memahaminya kita perlu melihat lima fenomena yang saling berhubungan, yakni:
1) Kesantunan sebagai tujuan dunia nyata.
Fenomena yang muncul dari kesantunan sebagai dunia nyata dilihat dari istilah ‘kesantunan’ yang diinterpretasikan sebagai hasrat untuk dihargai orang lain atau sebuah motivasi terpendam dari sikap kebahasaan seseorang. Hasrat dan motivasi ini hanya dapat diperoleh melalui apa yang diucapkan oleh seseorang yang kemudian direspon oleh pendengarnya. Kita bisa mengobservasi seseorang lebih santun dari yang lain, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar kesamaan dengan komunitas yang lainnya.
2) Rasa hormat vs Kesantunan.
Rasa hormat sering dihubungkan dengan kesantunan, meskipun merupakan fenomena berbeda. Rasa hormat mengacu pada rasa segan yang kita tunjukkan pada orang lain melalui nilai yang mereka miliki, seperti status, usia dsb. Kesantunan merupakan hal yang umum untuk menunjukkan perhatian pada orang lain. Antara rasa hormat dan kesantunan dapat dimanifestasikan melalui tingkah laku sosial maupun cara-cara kebahasaan, misalnya saja kita dapat mengungkapkan rasa hormat kita dengan berdiri saat seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi masuk ruangan, atau dengan menunjukkan kesantunan dengan memegang pintu tetap terbuka saat seseorang akan keluar ruangan.
3) Ragam Bahasa.
Istilah ragam bahasa (register) mengacu pada ‘variasi sistematik ...dalam hubungannya dengan konteks sosial, atau cara bahasa yang kita gunakan untuk berbicara maupun menulis disesuaikan dengan situasi. Situasi tertentu atau jenis bahasa yang digunakan maupun hubungan sosial tertentu menuntut penggunaan bahasa yang formal. Keformalan bahasa yang digunakan dapat bermanifestasi dengan pilihan bentuk bahasa yang formal, penghindaran interupsi, dll.
4) Kesantunan sebagai Fenomena Ujaran.
Banyak studi mengenai kesantunan difokuskan pada level realisasi ujaran . Walter (1979) mendefinisikan fenomena ini sebagai cara menginvestigasi seberapa banyak kesantunan ditekan dari strategi tindak tutur. Fenomena ini melihat kesantunan dalam tingkat permukaan, yakni menekankan pada penggunaan bentuk bahasa dari tindak tutur itu sendiri.
5) Kesantunan sebagai Fenomena Pragmatik.
Pada tingkat ini, kesantunan dianggap sebagai sebuah strategi yang digunakan oleh pembicara untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain, penggunaan bentuk bahasa tertentu secara kontekstual untuk mencapai tujuan si pembicara.
Konsep kesantunan ini kemudian berkembang menjadi lima teori kesantunan berbahasa, yaitu:
1. Teori Relevansi / Prinsip
Teori ini dikembangkan oleh Sperber dan Wilson pada tahun 1989. Teori ini mempunyai satu bidal (maksim), yaitu prinsip relevansi, antara pembicara dan mitra bicara agar dapat terjalin komunikatif otensif. Teori ini berkaitan erat dengan proses kognitif seseorang dalam penerimaan pesan serta bagaimana manusia dapat dengan mudah dimengerti, mengorganisasikan dan menggunakan informasi yang ada dalam pesan. Dalam setiap komunikasi tidak boleh ada paksaan bagi kedua pihak untuk memberi info secukupnya saja atau harus mengerti perbedaan makna yang dikatakan dengan maksud pembicara.

2) Prinsip Sopan Santun
Teori ini dikembangkan oleh Leech yang memperkenalkan sejumlah bidal (maksim) yang memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip kerja sama (Cooperative principle) yang dikemukakan oleh Grice. Sejumlah maksim ini disebut Principle Politeness (Prinsip Sopan Santun). Maksim-maksim yang dikemukakan oleh Leech adalah: 1) maksim kebijaksanaan (Tact maxim), yang menekankan pada ‘pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekpresi kepercayaan yang memberikan keutungan untuk orang lain. 2) Maksim kemurahan hati (The Generosity Maxim), yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekpresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang lain. 3) Maksim Penerimaan (The Approbation Maxim), yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan memaksimalkan ekpresi persetujuan terhadap orang lain. 4) Maksim kesederhanaan (The Modesty Maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri. 5) Maksim persetujuan (The Agreement Maxim). Jenis maksim ini menuntut kita untuk mengurangi ketidak setujuan antara diri sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dan orang lain.
 
3. Prinsip Kesantunan Rasional dan Muka
Brown dan Levinson (dalam Wardhaugh: 1997:272) membedakan dua jenis ‘muka’, yaitu positive face, yang berarti menunjukkan solidaritas, dan negative face, yang menunjukkan hasrat untuk tidak diganggu dalam tindakannya. Selain itu, ada dua jenis kesantunan yang menjadi perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness, yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan. Di sisi lain negative politeness ditandai oleh penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan,dan ketidaklangsungan. Konsep ‘muka’ sendiri digunakan pertama kali tahun 1876 sebagai terjemahan dari bahasa Cina ‘dui lian’. ‘Muka’ di sini memiliki makna ‘reputasi’ atau ‘nama baik’. Goffman, yang mempopulerkan konsep ‘muka’ pada tahun 1967, memberikan definisi ‘muka’ sebagai:

“.....the positive social value a person effectively claims for himself by the line others assume he has taken during a particular contact. Face in an image of self delineated In terms of approved social attributes—albeit an image that others may share, a when a person makes a good showing for his profession or religion by making a good showing for himself”
.
Menurut Brown dan Levinson, ada beberapa tindak ilokusi tertentu yang berpotensi mengancam atau merusak ‘muka’ orang lain. Tindakan ini disebut ‘face- threatening acts’ (FTAs). Untuk mengurangi FTAs ini, perlu strategi yang berbasis pada kekuasaan (power), jarak (distance), ukuran beban (rating of imposition).

4. Prinsip Kerjasama
Dalam prinsip kerjasama, seseorang harus mengikuti beberapa maksim agar tujuan komunikasi tercapai, dan prinsip ini tidak berlaku jika percakapan dilakukan seorang diri. Hal ini dinyatakan oleh Grice :
“it may be worth noting that specific expectations or presumptions connected with at least some of the foregoing maxims have their analogues in the sphere of transactions that are not talk exchanges. I list briefly one such analog for each conversational category.”

Prinsip kerjasama yang diperkenalkan oleh Grice pada tahun 1975, memuat empat maksim, yaitu:
1. Maksim Kualitas. Maksim ini menuntut pembicara untuk memberikan kontribusi seinformatif yang dibutuhkan. Misalnya, jika seseorang membutuhkan empat kursi, maka jangan memberinya tiga, dua atau satu kursi.
2. Maksim Kuantitas. Maksim ini menuntut agar pembicara tidak mengatakan hal yang palsu atau tidak memiliki bukti yang cukup. Misalnya, jika seseorang membutuhkan sebuah gula untuk adonan kuenya, maka jangan diberi garam.
3. Maksim Hubungan. Maksim ini menuntut pembicara untuk relevan dengan hal yang dibutuhkan. Misalnya jika seseorang tengah sibuk membuat adonan kue, maka jangan diberikan buku petunjuk yang benar untuk mengadoni kue.
4. Maksim Cara. Maksim ini menuntut pembicara memberikan informasi yang jelas dan akurat. Janganlah memberikan informasi yang ambigu, sehingga akan membingungkan lawan bicara.

5. Prinsip Kesantunan Formal
Mills mengkaitkan teori kesantunan dengan isu jantina serta unsur-unsur lainnya dalam masyarakat seperti pekerjaan, usia, suku, status sosial dan streotipe. Dalam berbagai interkasi, individu-individu bersikap berdasarkan identitas dan posisi mereka dalam masyarakat. Menurut Mills, kesantunan berbahasa tidak dapat dilihat secara sederhana saja seperti menyatakan ‘thank you’ atau ‘please’ sebagai indikator kesantunan dalam percakapan sehari-hari, tapi suatu tindakan perilaku yang luas di mana setiap individu itu berbeda, tergantung konteks dan peran pelibat dalam komunikasi.

Hubungan antara Jender & Kesantunan Berbahasa
Salah satu kerangka penelitian interaksi percakapan antara pria dan wanita adalah teori kesantunan . Teori ini mengemukakan bahwa para partisipan dalam interaksi biasanya ‘menghindar dari berhadapan dengan tindakan mengancam’ yang meruntuhkan posisi sosial teman bicara. Berbagai macam definisi alternatif kesantuan dalam tuturan sudah dikemukakan. Lakofff, misalnya, mengemukakan bahwa orang bersikap santun bertujuan untuk mengurangi friksi dalam interaksi personal. Rumusan-rumusan yang lebih mutakhir mengamati bahwa sejauh mana seseorang beresiko menghadapi tindak ancaman akan bergantung, sebagian, pada kerentanan seseorang. Dengan demikian, penggunaan kesantunan mungkin mencerminkan relasi kekuatan di antara penutur. Gumperz mengemukakan bahwa kesantunan tidak semata-mata mencerminkan, tapi juga membantu memproduksi relasi-relasi sosial, menyatakan bahwa hal itu ‘bersifat mendasar dalam menghasilkan keteraturan sosial dan mempersiapkan kondisi kerjasama manusia’.

C. Stereotip Jenis Kelamin
            Keyakinan tentang sifat kepribadian wanita dan pria disebut stereotip jenis kelamin. Semua stereotip, apakah berdasarkan jenis kelamin, bangsa, suku bangsa, atau pengelompokan lainnya, memberikan gambaran mengenai ciri-ciri dari anggota suatu kategori sosial.
Sebagai individu, kita bisa saja sependapat atau tidak sependapat dengan gambaran budaya yang ada tentang kedua jender. Stereotip pribadi adalah keyakinan unik kita mengenai ciri-ciri kelompok orang tertentu, seperti pria dan wanita. Individu membentuk stereotip pribadi paling tidak melalui dua cara yang berbeda.
Salah satu cara dimana individu berpikir tentang jenis kelamin adalah dalam hubungannya dengan sifat-sifat kepribadian umum yang merupakan kekhasan masing-masing jenis kelamin.Pada umumnya kita memiliki keyakinan mengenai gambaran menyeluruh yang membedakan pria dan wanita (lihat tabel 15-1). Cara kedua adalah dengan mengembangkan gammbaran-gambaran tentang bermacam-macam tipe pria dan wanita (Brewer, Dull, & Lui, 1981; Clifton, McGrath, & Wick, 1976; Taylor, 1981). Disamping berpikir tentang wanita, “pada umumnya” kita akan memikirkan pengelompokan wanita yang lebih khusus seperti kaum ibu, wanita karir, ratu kecantikan, gadis yang kelaki-lakian, atau perawan tua. Demikian juga pria, saat menggambarkan tentang laki-laki, keyakinan kita membedakannya menjadi tipe-tipe seperti kaum bapak, para usahawan, perampok, banci, orang yang sangat patriotik, petualang, atau diktator. Tipe-tipe sosial yang lebih spesifik ini menggambarkan berbagai macam pria dan wanita yang memiliki kelompok sifat berlainan.
Tabel 15-1
Stereotip Jenis Kelamin yang Lazim
LEBIH KHAS UNTUK PRIA
LEBIH KHAS UNTUK WANITA
Agresif
Mandiri
Tidak emosional
Objektif
Dominan
Menyukai matematika & ilmu pengetahuan alam
Aktif
Suka bersaing
Logis
Keduniawian
Percaya diri
Bertindak sebagai pemimpin
Senang bertualang
Ambisius
Lemah lembut
Bijaksana
Cerewet
Religius
Peka terhadap perasaan oranglain
Rapi
Tertarik pada penampilan diri
Pendiam
Mengungkapkan perasaan yang lembut
Menyukai seni dan kesusteraan
Mudah menangis
Tergantung
Tidak menyukai kata-kata kasar
Kebutuhan akan rasa aman besar
Para mahasiswa menilai “pria yang khas” dan “wanita yang khas” berdasarkan sebuah daftar kata sifat yang panjang. Ciri-ciri yang oleh 75% mahasiswa dianggap lebih merupakan ciri pria diperlihatkan di kolom sebelah kiri. Ciri-ciri yang oleh 75% mahasiswa dianggap lebih merupakan ciri wanita diperlihatkan dikolom sebelah kanan.

Sumber: Dikutip dari Rosenkrantz, Vogel, Bee, Broverman, & Brovermann (1968), halaman 291.


D. Maskulinitas, Femininitas, dan Androgini Psikologis dalam Struktur Jenderisasi
Akhir – akhir ini, beberapa pakar psikologi meragukan kebenaran pandangan satu dimensi tentang segi psikologis dari maskulin dan femininitas (Spence & Helmreinch, 1978, 1980). Sandra Bem (1974, 1981) mengatakan bahwa mungkin saja ada beberapa orang yang berpendapat dirinya memiliki baik ciri-ciri feminin maupun maskulin. Orang macam ini akan menyukai baik pekerjaan perkayuan maupun masak-memasak, bisa sangat tegas dalam pekerjaan tetapi sangat lemah lembut dirumah. Orang – orang ini disebut androginus psikologis. Bem menekankan bahwa seorang androginus bukanlah orang moderat, yang berada ditengah-tengah maskulinitas dan femininitas yang ekstrem. Tetapi seorang androginus memandang bahwa dirinya mengkombinasikan ciri-ciri maskulin dan feminin yang kuat. Persentase yang pasti dari orang yang termasuk penggolongan menurut jenis kelamin dan androginus agak bervariasi antara satu penelitian dan penelitian lain. Yang khas adalah hasil penelitian yang baru-baru ini dilakukan terhadap para mahasiswa California (Bernard, 1980). Sekitar 40% mahasiswa memandang bahwa mereka termasuk dalam penggolongan jenis kelamin tradisional dan 25% termasuk androginus. Sub kelompok yang “tidak terdiferensiasikan” mencakup 20% pria dan 21% wanita yang memperoleh nilai rendah baik dalam sifat maskulin maupun feminin. Yang terakhir, sejumlah kecil orang menunjukkan pola penggolongan jenis kelamin yang berlawanan – yaitu pria feminin (5%) dan wanita maskulin (12%). Hal yang penting adalah meskipun penggolongan jenis kelamin tradisional merupakan pola yang paling lazim, satu kelompok minoritas yang cukup besar melihat bahwa mereka mongkombinasikan baik sifat-sifat maskulin maupun feminism.
            Penelitian mengenai androgini telah menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar tentang bagaimana maskulinitas dan femininitas dapat mempengaruhi kesejahteraan hidup. Salah satu pendangan yang sudah usang mengatakan untuk menjamin kesejahteraan mental. Anak laki-kali dan pria harus maskulin dalam sifat-sifat dan minatnya, sedangkan anak perempuan dan wanita harus feminism. Model kongruensi ini (Whitley, 1983) menyebutkan bahwa penyesuaian diri dapat ditingkatkan bila terdapat kesesuaian yang tepat antara jenis kelamin dan konsep diri. Sebagai pembanding, model androgini yang lebih baru mengenai kesejahteraan hidup berpendapat bahwa akan lebih baik bila manusia memiliki sifat maskulin maupun feminim. Secara khusus, telah disebutkan bahwa individu androginus melebihi individu yang termasuk penggolongan jenis kelamin tradisional karena memiliki perilaku yang lebih luwes dan harga diri yang lebih tinggi.
            Fleksibilitas Perilaku Bem membuat hipotesis bahwa manusia maskulin akan tampil dengan baik dalam situasi tugas dimana dituntut kecakapan an ketegasan; manusia feminism akan tampil dengan baik dalam situasi yang membutuhkan ungkapan kasih sayang dan emosional; dan manusia androginus akan tampil dengan baik dalam kedua bentuk situasi tersebut. Beberapa dukungan empiris terhadap dugaan ini telah ditemukan. Dalam suatu penelitian (Bem, 1975), individu maskulin dan androginus tampil lebih baik daripada individu feminim dalam tes kemampuan melawan tekanan konformitas kelompok. Dalam penelitian lain (Bem, Martyna, & Watson, 1976), individu feminism dan androginus tampil laebih baik dalam tugas-tugas yang membutuhkan kasih sayang, antara lain bermain-main dengan bayi dan membantu siswa pindahan yang mempunyai masalah untuk menyesuaikan diri dengan sekolah baru.
            Sampai saat ini perhatian terhadap perilaku manusia androginus masih relative baru, dan penyimpulan yang definitive masih mambutuhkan bukti-bukti lebih lanjut. Namun, tampaknya cukup aman untuk mengatakan bahwa penemuan yang ada berlawanan dengan model kongruensi dan berpendapat bahwa manusia androginus bisa, paling tidak, sama efektifnya dengan orang yang termasuk penggolongan menurut jenis kelamin dalam interksi sosial (Pleck, 1981).
            Harga Diri perasaan yang baik terhadap diri sendiri merupakan unsur yang penting dari kesehatan mental. Model kongruensi meramalkan bahwa penghargaan diri akan lebih tinggi pada pria maskulin dan wanita feminim.-manusia dengan konsep diri jenis kelamin yang “tepat.” Sedangkan model androgini mengatakan bahwa individu androginus yang memandang dirinya memiliki sifat maskulin maupun feminism yang positif akan memiliki harga diri yang lebih tinggi daripada individu yang termasuk penggolongan menurut jenis kelamin. Sejumlah besar penelitian telah menyelidiki hal ini (Whitley, 1983), dan mereka mengajukan kesimpulan yang tidak terduga.
            Pada dasarnya penelitian lagi-lagi tidak mendukung model kongruensi. Dan hasil tersebut hanya sedikit mendukung model androgini. Tetapi, ternyata, factor yang paling mempengaruhi harga diri adalah bagaimana nilai orang tersebut untuk maskulinitas psikologi. Baik individu maskulin maupun androginus biasanya memiliki harga diri yang tinggi. Keuntungan manusia androginus yaitu karena juga menjadi feminism selain maskulin secara statistic cukup nyata, tetapi ukurannya sangat kecil. Para peneliti masih bertanya-tanya mengapa maskulinitas tampaknya sangat penting bagi harga diri. Salah satu kemungkinan adalah karena dalam kebudayaan, harga diri erat kaitannya dengan ragam sifat yang secara tradisional diberi label maskulin seperti kemandirian, ketegasan, dan kecakapan. Kemungkinan lain adalah karena skala harga diri telah menyimpang dan tidak mampu lagi menilai elemen- elemen harga diri yang ada kaitannya dengan feminitas secara tepat; dengan kata lain, pola hasil tersebut muncul karena kelemahan metodologis dari tes yang digunakan.
            Beberapa Peringatan penelitian terhadap fleksibilitas perilaku dan harga diri dari individu yang termasuk penggolongan menurut jenis kelamin dan androginus bertentangan dengan model di mana penggolongan jenis kelamin yang “tepat” dianggap merupakan hal yang hakiki bagi kesehatan mental. Pria maskulin dan wanita feminism tampaknya tidak lebih beruntung daripada individu androginus. Tetapi meskipun konsep androgini telah menyumbangkan koreksi yang bermanfaat terhadap karya-karya terdahulu, kita harus tetap waspada dalam menerimanya.
            Pertama-tama alat ukur androgini masih amat terbatas ruang lingkupnya; fokusnya adalah pada persepsi diri, terhadap kecakapan mengerkjakan tugas dan kemampuan mengunkapan emosi. Dalam keadaan sebenarnya, kebanyakan orang tampaknya melihat maskulinitas dan feminitas secara lebih luas, yaitu meliputi penampilan, perilaku seksual, dan peran-peran sosial, disamping kepribadian (Myres & Gonda, 1982). Selain itu komponen-komponen maskulinitas dan feminitas yang berbeda-beda ini rupanya bukan merupakan bagian dari dimensi tunggal, konsisten (Spence & Helmreich, 1980). Misalnya, seorang wanita bisa saja berpikir bahwa dirinya berkepribadian maskulin(tgas, ambisius, dan mandiri), berpenampilan feminine (pendek dan menggiurkan), dan memiliki peran sosial androginus (seorng istri ibu rumah tangga dan wanita karier). Alat-alat ukur androgini yang ada tidak menjangkau hal yang rumit ini.
            Kedua, androgini hanya mungkin ditemui dalam area seperti kepribadian seseorang dapat berpendapat dirinya itu penuh kasih sayang yang hangat didalam satu situasi dan menampilkan persaingan yang dingin dalam situasi lain. Sedangkan dalam hal lain, maskulinitas dan feminitas benar-benar terpisah satu dari yang lain. Contohnya dalam reproduksi, inseminasi dan kemampuan melahirkan anak masing-masing hanya merupakan milik salah satu jenis kelamin.
            Ketiga, karya terakhir mengenai androgini hanya menjelaskan sedikit sekali mengenai sejauh mana sesungguhnya tingkat kepentingan maskulinitas dan feminitas dalam pandangan manusia mengenai dirinya. Bem Sex Role Inventory dan tes lainnya meminta agar orang menilai diri mereka berdasarkan sifat-sifat yang oleh masyarakat diberi label maskulin atau feminin (Spence & Helmreich, 1980). Tetapi berbagai tanggapan terhadap tes-tes tersebut tidak menyatakan kepada kita apakah dengan cara ini orang juga memberi label pada tindakan mereka sendiri secara spontan. Bila penggolongan menurut jenis kelamin benar-benar penting, seseorang akan berpikir: “Wah, mempersiapkan sarapan yang baik unutk keluarga membuat saya merasa sangat feminine” atau “Saya merasa lebih maskulin karena telah berani mendebat pimpinan saya hari ini.“ Tetapi bila penggolongan menuru jenis kelamin tidak begitu penting , orag akan mampu mengenali sifat penuh kasih sayang dan ketegasannya, tetapi mengidentifikasikannya sebagai sifat-sifat manusiawi yang tidak berkaitan dengan jenis kelamin. Kita tidak dapat mgngetahui sesungguhnya sejauh mana tingkat kepentingan label maskulin dan feminine tersebut dalam konsep diri seseorang.
            Yang terakhir, diskusi mengenai maskulinitas dan feminitas sering kali menyentuh nilai-nilai dan angan-angan pribadi seseorang. Bagi mereka yang mendukung sudut pandang trdisional mengenai kedua jenis kelamin, dipertahankannya perbedaan yang tegas antara maskulinitas dan feminitas merupakan tujuan yang penting. Bagi mereka yang ingin memperluas pilihan disamping kedua jenis kelamin yang telah ada, pengaburan perbedaan tampaknya merupakan hal yang diinginkan. Memang sebagian kaum feminis menolak androgini sebagai sebuah cita-cita karena hal itu dianggap tetap menyimpan anggapan tentang adanya perbedaan antara maskulin dan feminine meskipun pandangan tersebut memperbolehkan manusia untuk memiliki kedua macam sifat. Sesuai dengan hal itu (seperti Garnets & Pleck, 1979) menganggap bahwa kita harus mengarah kepada “transendensi peran seks.” Sifat-sifat dan kegemaran pribadi tidak boleh dikaitkan lagi dengan jenis kelamin. Penelitian di bidang psikologi dapat menjelaskan bagaimana pengaruh jenis kelamin terhadap konsep diri dan dapat mengidentifikasikan konsekuensi-konsekuensi dari berbagai pola, tetapi hal tersebuta tetap tidak dapat menyatakn kepada khalayak gambaran apa yang akan diambil untuk kehidupan mereka sendiri. Sampai sejauh ini, diskusi tentang jenis kelamin terpusat pada persepsi-kesan mengenai orag lain dan diri sendiri. Sekarang kita kembali pada topic tentang perbedaan sesungguhnya perilaku wanita dan pria.

E. PERBEDAAN JENIS KELAMIN PERILAKU: PENDEKATAN TEORITIS

Orang telah berdebat mengenai perbedaan seks sejak lama sebelum psikologi sosial ditemukan. Berabad-abad, pengalaman dan intuisi pribadi merupakan landasan dari diskusi-diskusi semacam ini. Dewasa ini, teori-teori dan penelitian ilmiah memberikan pemahamn-pemahaman yang lebih seimbang dan mendalam tentang perbedaan perilaku menurut jenis kelamin.
            Diskusi –diskusi terdahulu seringkali mempertanyakan apakah perbedaan jenis kelamin itu disebabkan oleh “alam atau pengasuhan,” oleh biologi atau proses belajar. Sekarang kita mengetahui bahwa dikotomi yang sederhana ini menyesatkan. Penjelasan yang menyeluruh tentang perbedaan jenis kelamin perlu mempertimbangkan baik kapasitas biologis dari kedua jenis kelamin maupun lingkungan sosial di mana pria dan wanita itu hidup. Juga telah semakin jelas bahwa tidak ada penjelasan yang tunggal, umum, tentang semua perbedaan antara pria dan wanita. Tetapi dianggap, unsure-unsur penyebab perbedaan jenis kelamin dakam kemampuan matematika mungkin akan sangat berbeda dengan penyebab perbedaan jenis kelamin dalam pengungkapan diri, dan seterusnya. Tiga sudut pandang yang luas mengenai penyebab perbedaan jenis kelamin menekanakan pada pengaruh biologi, proses belajar, dan situasi sosial.



F. Pengaruh Situasi Sosial
            Perilaku tidak semata-mata ditentukan oleh kecenderungan biologis atau ciri-ciri kepribadian yang dipelajari. Efek utama yang ketiga adalah tatanan sosial. Seorang pria bisa saja berbicara tentang sepak bola dan mobil dengan teman-teman prianya, membumbui pembicaraannya dengan kata-kata kasar, tetapi “membersihkan perilakunya” dan mengganti topic pembicaraan dengan seorang teman wanita yang baru.
            Jenis kelamin dari orang yang sedang berada bersama kita adalah salah satu determinan sosial yang sangat menentukan perilaku. Bukti-bukti yang mendukung gagasan ini muncul dari penelitian tentang siapa yang akan menginterupsi orang lain dalam suatu percakapan ringan. Para peniliti (Zimerman & West, 1975) secara sembunyi-sembunyi merekam percakapan antar pasangan pria-pria, wanita-wanita, dan pria wanita waktu mereka sedang bercakap-cakap secara spontan di warung kopi, apotik, dan tempat-tempat umum lainnya. Terjadi interupsi sepuluh kali lebih banyak dalam percakapan pria-wanita ketimbang percakapan antara jenis kelamin yang sama. Yang lebih mengherankan, dalam pasangan sejenis, pria dan wanita mempunyai kemungkinan sama besar untuk memulai interupsi; tetapi dalam pasangan berbeda jenis kelamin, pria melakukan 96 persen dari seluruh interupsi. Suatu penelitian di laboratorium mengenai percakapan dalam kelompok dengan jenis kelamin yang berbeda (McMillan, Clifton, McGranth, & Gale, 1977) mencapai hasil yang serupa tetapi tidak terlalu ekstrem. Wnita dan pria mempunyai kemungkinan besar untuk menginterupsi orang lain yang sama jenis kelaminnya. Akantetapi, bila terjadi interupsi antar jenis kelamin =, pria mempunyai kemungkinan lima kali lebih banyak untuk menginterupsi wanita daripada sebaliknya.
           
G. PERILAKU SOSIAL PRIA DAN WANITA
            Dalam beberapa tahun terakhir ini, sejumlah besar penelitian dilakukan untuk membandingakan perilaku pria dan wanita, terutama terhdapa anak-anak dan mahasiswa di Amerika. Tetapi, hasil dari penelitian=penelitain ini seringkali bertentangan dan kadang-kadang benar-benar membingungkan. Ternyata mengemukakan bukti-bukti mengenai perbedaan jenis kelamin dalam perilaku jauh lebih sulit daripada yang dibayangkan.
            Pada tahun 1974, Eleanor Maccoby dan Carol Jacklin menerbitkan buku petunjuk yang berjudul The Psychology of Sex Differences. Mereka membahas sejumlah penelitian tentang perbedaan jenis kelamin dalam berbagai cara psikologis seperti kemampuan verbal dan sifat agresif. Maccoby dan Jacklin mencoba mengevaluasi lebih dan hanya mengakui kebenaran hasil dari penelitian yang terulang kembali dalam penelitian lain oleh peneliti yang berbeda. Mereka menimpulkan bahwa perbedaan jenis kelamin hanya terjadi dalam 4 hal :
  1. Wanita mempunyai nilai lebih tinggi daripada pria dalam kemampuan verbal seperti membaca dan kosa kata.
  2. Pria mendapat nilai lebih tinggi daripada wanita dalam kemampuan matematika.
  3. pria mendapat nilai lebih tinggi daripada wanita alam kemampuan visual-spasial.
  4. Pria lebih agresif daripada wanita.

            Yang penting Maccoby dan Jacklin menyimpulkan bahwa beberapa stereotip mengenai beberapa perbedaan jenis kelamin jelas keliru. Kedua jenis kelamin tersebut tidak berbeda dalam kecerdasan secara keseluruhan, juga tidak berbeda dalam level umum motivasi atau usaha untuk lebih unggul dari yang lain. Para penulis tersebut juga menghapuskan prsangka terhadap gagasan bahwa anak perempuan lebih berhasil dalam pelajaran menghafal “mati” dan tugas sederhana yang berulang-ulang, sedangkan anak laki-laki lebih baik dalam tugas yang membutuhkan proses kognitif yang lebih tinggi. Perbedaan pria dan wanita dalam komnikasi non verbal. Stereotip tentang
‘intuisi” wanita menyebutkan bahwa kemungkinan wanita memupnyai kemampuan yang lebih baik daripada pria dalam menguraikan atau membaca perilaku non verbal. Jadi dispekulasikan bahwa para ibu lebih ahlidaripada ayah unutk mengatakan apakah bayi yang menangis sedang merasa lapar. “ngompol”, atau sakit perut. Disamping itu stereotip juga mengatakan bahwa wanita lebih mampu merasakan apakah seseorang sedang mengalami depresi atau lelah. Sebagian besar penelitian mencoba menjawab masalah ini dengan membandingkan kemampuan pria dan wanita untuk menguraikan emosi seseorang dengan tepat melalaui tanda-tanda mimic, bahasa tubuh, atau nada suara.
            Dalam suatu penelitian khusus, subjek menyaksikan rekaman video tentang seseorang yang memperlihatkan serangkain emosi seperti gembira, jijik, atau takut. Setelah menyaksikan setiap bagian dari film tersebut Subjek menyebutkan emosi apa saja yang ditampilkan tadi. Dalam penelitian lain subjek mendengarkan suara yang telah “disaring isinya” diubah sedemikian rupa sehingga isinya kacau dan nadanya saja yang jelas. Judith Hall (1978) membahas 75 buah penelitian semacam ini yang membuka kesempatan untuk membanding bandingkan jenis kelamin. Dalam 68 persen penelitian, wanita ternyata merupakan pengurai makna yang lebih baik daripada pria; dalam 13 persen , pria lebih baik daripada wanita; dan dalam 19 persen tidak tampak adanya perbedaan jenis kelamin.
            Perbedaan jenis kelamin ini telah ditemukan pada anak-anak sekolah dasar, remaja, dan dewasa. Beberapa kemungkinan penjelasan telah dikemukakan. Salah satunya adalah bahwa wanita memiliki kepekaan genetic “terprogram” terhadap tanda-tanda nonverbal karena peranannya dalam merawat anak yang belum dapat berbicara. Kemungkinan yang lain adalah bahwa wanita dilatih untuk menjadi ahli dalam hal-hal emosional, dan dengan demikian belajar untuk menjadi lebih terampil dalam hal komunikasi nonverbal.

H. Ketidakpercayaan Diri Wanita dalam Berbicara
Beberapa ahli dialek mengatakan bahwa wanita itu sadar akan dirinya bahwa statusnya tidak akan bisa sejajar dengan pria, hal ini digambarkan dengan bagaimana mereka menggunakan bentuk ucapan yang standar. Robin Lakoff, seorang linguistic dari amerika mengatakan hampir sebaliknya. Dia berpendapat bahwa wanita menggunakan bahasa yang memperkuat status mereka yang di bawah laki-laki; Mereka diam diam merahasiakan status mereka sebagai kaum lemah melalui cara mereka berbicara.
            Penelitian dialek sosial berfokus kepada perbedaan antara wanita dan pria berbicara dalam area morphology such as past tense, dengan memperhatikan sintaktik construction seperti kalimat negasi. Robin lakof mengubah focus penelitian terhadap perbedaan gender menjadi syntak, semantic, dan style. Dia mengatakan bahwa status sosial wanita yg rendah di masyarakat amerika tercermin dalam bahasa yg digunakan oleh wanita itu sendiri, serta dalam bahasa yang digunakan tentang mereka. Dia mengidentifikasikan jumlah dari bentuk linguistic yang telah diklaim lebih sering digunakan oleh wanita dripda pria.
            Awalnya banyak penelitian yg secara metodologis tidak memuaskan. Ujaran tercatat dalam kondisi laboratorium dengan topik yang telah ditetapkan. Dan kadang-kadang terdapat kendala karena sebagian besar subyeknya adalah mahasiswa. akibatnya sulit untuk menggeneralisasikan hasil dari percakapan informal yg alami di masyarakat secara keseluruhan dan hasilnya data dari analisis lingustik sering tidak memuaskan.
            Pertama, Terdapat perangkat linguistik yang dapat digunakan untuk mengurangi tekanan dari ujaran. Kedua, Terdapat bagian-bagian yang menegaskan tekanan pernyataan. Para peneliti yg menyadari factor yg menyatakan fungsi ini mengikutsertakan analisis mereka ke segala bentuk yg memiliki efek menegaskan yg berdampak pernyataan.

Lakoff’s linguistic features as politeness devices.

Menunjukkan intonasi yg naik , contohnya : Susan is a university student. She is telling her friend and flatemate about her experiences at school,

I did my exams in sixty-three, was it?

Intonasi yg naik di gambarkan pda tag question was it?
Tujuan speaker dalam hal ini menggunakan intonasi naik untuk menyakinkan dirinya sendiri akan kebenaran apa yg di ucapkannya, karena wanita cenderung kurang percaya diri dalam mengeluarkan pernyataan, dan dia menutupinya dengan menggunakan tag question yg disertai dengan rising intonation

Menunjukkan intonasi yang turun, contohnya: Margaret is holding a small party to introduce a new neighbour, Frank, to other people in the street. She introduces Frank to an old friends, Andrew.

Margaret : Andrew this is our new neighbour, Frank, Andrew.
                       
Has changed job, haven’t you ?

Tag question tersebut merupakan falling intonation yaitu mengacu kepada pernyataan yg lebih sopan, karena speaker ingin mempersopan dirinya, karena wanita selain cenderung tidak percaya diri mereka juga ingin mempersopan diri dalam berinteraksi.

Tag question jg dpt memperlembut sebuah perintah atau kritikan seperti contoh tersebut :

Zoe and her mother Claire have just come home from the supermarket.
Zoe empties the shopping basket all over the kitchen floor

Claire : That was a bit of a daft thing to do, wasn’t it?

Intonasi tersebut merupakan rising intonation, akan tetapi bukan menunjukkan ketidakyakinannya. Hasil yang ditemukan melalui penelitian, pola-pola yang ditemukan di 60.000 kata corpus berisi jumlah yang sama berbicara perempuan dan pria dikumpulkan dalam berbagai konteks yang cocok. Ini sangat jelas bahwa wanita lebih sering menggunakan tags question daripada pria, seperti yg lakoff prkirakan. Tetapi wanita tidak menggunakannya sebagai tujuan yg sama dengan pria. Wanita lebih menekankan daripada pria pada fungsi sopan atau afektif tag, menggunakan mereka sebagai fasilitatif perangkat kesantunan positif. Pria, di sisi lain, digunakan tags lebih untuk ekspresi ketidakpastian.

I. Gosip
Gosip didefinisikan sebagai jenis-jenis percakapan santai dalam sebuah kelompok antara orang-orang di dalam konteks informal. Dalam masyarakat Barat, gosip didefinisikan sebagai “onong kosong” dan terutama mempertimbangkan pada karakteristik interaksi wanita. Secara keseluruhan fungsi berbicara bagi perempuan adalah untuk menegaskan solidaritas & memelihara hubungan sosial antara perempuan itu sendiri. Seorang pria biasa mereaksi tingakh laku bergosip ini sebagai suatu hal yang salah, namun dianggap baik karena seringkali setelah bergosip perasaan kita menjadi lebih lega. Tidak heran gosip yang dilakukan wanita di karakterisasi oleh jumlah fitur-fitur linguistik dari bahasa wanita.
            Gosip wanita berfokus pada pengalaman pribadi, hubungan pribadi, masalah perorangan dan perasaan-perasaan yang mereka alami sendiri. Sedangkan dalam situasi yang sama, pria mengambil topik yang cenderung berfokus pada hal-hal lain dan aktifitas-aktifitas keseharian dalam bergosip. Namun, sulit untuk mengidentifikasi pria dalam bergosip. Dalam sesi gosip, wanita memberikan respon simpatik dan saling melengkapi ujaran masing-masing untuk mengungkapkan kepedulian sosial dalam menceritakan suatu pengalaman, khususnya berfokus hampir pada pesan afektif dari apa yang dikatakan tentang perasaan si penutur dan hubungannya – daripada konteks referensialnya. Wanita juga lebih banyak mengatakan kesetujuannya saat berkomunikasi dengan lawan bicara, tidak seperti pria yang lebih kompetitif dalam berujar.
            Hasil dari rekaman kelompok wanita yang bergosip menunjukkan, dalam kurun waktu 9 bulan wanita membangun dan mengembangkan topik bergosipnya satu sama lain dan secara umum menegaskan sikap juga reaksi partisipan lainnya.
             















Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Jenderisasi, Kesantunan Bahasa dan Stereotip dalam Kehidupan Sosial Masyarakat”. Paper ini diajukan guna memenuhi prasyarat tugas mata kuliah Sociolinguistic.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Paper ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan paper ini. Semoga paper ini memberikan informasi bagi mahasiswa/i dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.





Penyusun













BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Jender merupakan salah satu kategori dasar dalam kehidupan sosial. Sewaktu kita bertemu dengan orang baru pasti kita akan berusaha mengidentifikasikan mereka sebagai pria atau wanita baik melalui sikapnya, pakaiannya, dan tentunya kesantunan bahasa yang digunakan oleh orang tersebut.
Kecenderungan kita untuk membagi dunia berdasarkan kategori maskulin dan feminin tidak hanya terbatas pada persepsi terhadap manusia; berbagai objek dan kegiatan biasanya juga didefinisikan berdasarkan sifat jenderisasi tersebut. Perbedaan antara pria dan wanita merupakan prinsip pengatur universal dalam semua masyarakat manusia. Sebagai anak, anak laki-laki dan perempuan diharapkan mempelajari keterampilan-keterampilan dan kepribadian yang berbeda. Sebagai orang dewasa, pria dan wanita secara khas mengasumsikan penggolongan peran menurut jenis kelamin yang berbeda, sebagai suami atau istri, sebagai ibu atau ayah. Setiap kebudayaan mempunyai perbedaan mengenai apa yang tepatnya didefinisikan sebagai maskulin atau feminin dan sejauh mana masing-masing kebudayaan tersebut menekankan perbedaan dan persamaan jenis kelamin.


B. Rumusan Masalah

Makalah ini dibuat dengan metode:
1. Observasi
2. pendekatan masalah terhadap kasus-kasus yang berhubungan erat dengan jenderisasi

Sumber-sumber yang kami dapatkan adalah valid dari buku-buku referensi, jurnal, maupun dari situs internet yang mengupas tuntas fakta-fakta dibalik peristiwa sosial-masyarakat.

BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Dalam berinteraksi, jenderisasi mengambil peranan penting dalam kehidupan sosial-masyarakat. Menurut penelitian, dalam suatu interaksi antara pria dan wanita, pria sering menyela pembicaraan saat berbicara dengan lawan jenisnya karena mereka tidak mau statusnya yang lebih tinggi dibanding wanita disamakan, ataupun mereka tidak ingin kata-katanya disepelekan wanita. Walaupun peneliti sendiri membenarkan bahwa tidak semua pria selalu melakukan penyanggahan.
Disisi lain, wanita bisa memberikan dukungan yang lebih dan interaksi percakapan yang baik terhadap mitra tuturnya daripada apa yang laki-laki lakukan. Karena, wanita mempunyai strategi interaksi yang kooperatif dengan melihat pengaruh dari suatu konteks & bentuk-bentuk sosialnya. Sedangkan pria lebih kompetitif dalam melakukan ujaran.
Dari segi tatanan bahasa (kesantunan bahasa), wanita lebih mendapat perhatian lebih karena mereka berbahasa lebih halus dan sopan dibanding pria, meskipun terkadang wanita lebih tidak percaya diri saat berbicara. Dari sikap-sikap yang tercermin antara wanita dan pria itulah, kita bisa memprediksikan stereotip dari masing-masing jenis kelamin mereka.










Daftra Pustaka

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman

            Adryanto, Michael. 1994. Psikologi Sosial Fifth Edition. Jakarta: Erlangga

            www.http://radjimo.multiply.com/journal/item/3